Friday, March 26, 2010

"Obat BUKAN JAWABAN" - Dr. Tan Shoat Yen



*"Obat BUKAN JAWABAN"*

(Dari Majalah "PESONA" Maret 2010, Halaman 80 -- 82)

Ia mendidik pasiennya agar mengubah gaya hidup. Prinsipnya, pasien harus punya otonomi terhadap tubuh sendiri.

Cobalah berkunjung ke klinik dr. Tan Shot Yen di wilayah Bumi Serpong Damai pada
pukul 11 di hari kerja. Anda akan melihat dr. Tan
menghadapi beberapa pasien. Sekilas, Anda mungkin berpikir dokter sedang
marah-marah. Padahal ia
sedang menjelaskan tentang gaya hidup sehat pada pasien barunya. Pasalnya, memang
begitu gaya dr. Tan, menjelaskan dengan suara keras. Bila kita simak ucapannya,
semua yang dijelaskannya sangat penting dan membukakan mata.

"Kesalahan pasien dalam berobat hanyalah mencari tahu 'bagaimana'. Bagaimana caranya
menurunkan tensi, menurunkan kadar gula, menguruskan badan, menghilangkan
senewen atau sakit di jemari. Jika Anda Cuma tanya 'bagaimana', Anda akan jatuh
menjadi sekadar konsumen. Pertanyaan terpenting adalah mengapa Anda sampai
sakit?" urainya.

Wanita 45 tahun ini memang tak mau punya pasien yang yang mengharapkan pil atau
tongkat ajaib untuk membereskan tubuhnya. "Saya mau pasien yang *taking ownership of their
own body*. Itu badan anda. Buat apa dokter yang sok tahu
menyuruh ini-itu?* Yang benar buat dokter belum tentu benar buat Anda*." Wah,
dokter yang satu ini tampaknya memang lain dari yang lain.

*Mendorong Gaya Hidup Sehat

*Perbedaan mencolok dr. Tan dibanding dokter lain pada umumnya adalah ia tidak
mudah memberi obat. Rata-rata pasien yang keluar dari ruang prakteknya tidak
menggenggam resep. Kalaupun ada resep, biasanya hanya vitamin dan omega-3,
tergantung kondisi pasien.

"Sampai kapan seseorang mau tergantung pada obat-obatan? Apakah setelah mengonsumsi
obat dia benar-benar sembuh? Jawabannya tidak. Karena begitu obat berhenti, dia
sakit lagi. Berapa banyak dokter hanya bertanya 'sakit apa' lalu berkata 'ini
obatnya'? Dia tidak memberikan pendidikan atau menjelaskan asal usul penyakit.
*Pasien juga bego, padahal dia harusnya memahami perannya dalam menciptakan
penyakitnya* ," jelas dr. Tan.

Sebagai ganti resep, dr. Tan memberikan pencerahan tentang gaya hidup sehat yang
harus dijalani setiap orang. „Saya yakin semua dokter tahu bahwa diabetes,
stroke, dan kanker adalah penyakit gaya hidup. Tapi pertanyaannya, seberapa
jauh seorang dokter mau fight untuk memperbaiki gaya hidup pasiennya? Karena,
penanganan pertama pasien seharusnya perubahan gaya hidup. Bila gagal, baru
obat-obatan boleh dicoba."

Dr. Tan mencontohkan, pasien yang sakit lutut akan disuruh minum obat, dioperasi,
atau diganti tempurung lututnya. Padahal, titik beratnya adalah bobot tubuhnya.
Jika si Pasien mengubah pola makan dan gaya hidup, berat badannya susut dan
keluhan lututnya akan hilang. "Ibaratnya, mobil Mercedes pasti turun mesin
kalau diisi bensin bajaj. Coba ganti dengan bensin super, pasti larinya
kencang."

Perubahan pola makan yang dianjurkan dr. Tan mungkin terdengar ekstrem. Ia mengimbau
pasiennya untuk berhenti mengonsumsi *gula, terigu, nasi, dan pati (singkong,
kentang, ubi, jagung, taloas).* Pasalnya, di dalam tubuh, jenis
makanan ini akan diproses 100% menjadi gula dalam waktu dua jam. Benar, manusia
butuh gula untuk energi. Tapi kenaikan kadar gula darah akibat empat jenis
makanan ini sangat cepat, mengakibatkan insulin melonjak untuk menekan kenaikannya.
Bersama insulin, keluar pula hormon *eicosanoid* *buruk*. *Akibatnya, pembuluh
darah menyempit, darah kental, daya tahan buruk, tubuh 'memelihara' bakteri,
jamur, kista, tumor, dan kanker, serta timbul nyeri*.

Sebagai ganti nasi, ia meresepkan: *satu ikat selada mentah atau dua cangkir brokoli
setengah matang, 2 putih telur rebus, 2 tomat, 2 mentimun, setengah avokad,
apel, atau* *pear*. Dengan makanan ini, tak ada sisa gula yang tersimpan
menjadi lemak. Kadar gula darah sebelum dan sesudah makan pun rata-rata sama.
Dan, hormon *eicosanoid* *buruk* takkan keluar sehingga tak mengundang
penyakit. 'Menu' ini perlu dilengkapi lauk-pauk yang diolah dengan berbagai
cara, *asal tidak** ditumis atau digoreng.
*
"Kita makan sayur bukan hanya demi seratnya. Sayur mentah mengandung enzim dengan
life force energy yang penting buat tubuh. Inilah pola makan asal yang sesuai
fitrah manusia. Siapa bilang tidak makan nasi jadi lemas? Nenek moyang kita
makan sayur dan buah tapi mereka kuat mendaki gunung dan berburu."

*Sakit adalah Introspeksi
*Hal lain yang menarik dari dr. Tan adalah gelar M. Hum. Gelar itu didapat setelah
ia mengambil pascasarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta, tahun lalu. Menurutnya, kuliah S2 filsafat membuatnya memahami manusia
secara mendalam dan holistic. Ia juga jadi mengerti 'dosa ilmu kedokteran'
tentang mekanisasi tubuh manusia.

"Akibat perkembangan ilmu kedokteran – terutama setelah ditemukannya alat pacu
dan cangkok jantung, tubuh manusia yang tadinya holistic lalu dipecah-pecah.
Kalau kepala sakit yang diobati, ya kepala saja. Kita terlepas dari tubuh,
emosi dan kecerdasan spiritual. *Tubuh manusia hanya jadi seperangkat mesin*.
Kalau ada yang salah, kita pergi kebengkel. Dan,
rumah sakitlah bengkel terbesarnya. Betul, badan manusia terlalu kompleks untuk
dipegang satu ahli saja. Manusia boleh dipegang beberapa ahli, asal mereka
sama-sama sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan. *Masalahnya* , dokter punya
*arogansi profesi*. *Seorang dokter biasanya susah dibilangin dan selalu merasa
benar,*" tuturnya lugas.

Dr. Tan juga menyayangkan bila manusia zaman sekarang mati-matian melawan dan
menolak sakit. Padahal, *sakit* adalah *jalan untuk lebih memahami*bahwa *manusia
tak selamanya di posisi ata*s.

"Sakit adalah introspeksi. Ketika sakit, saya berhenti dan menoleh kebelakang.
*Apa yang 'jalan' dan 'nggak jalan' selama ini?* Nah, menjadi * sembuh* adalah
keberhasilan introspeksi dan menemukan cara untuk lebih maju lagi. Tapi
bagaimana pasien bisa introspeksi bila tak dibimbing menemukan kesembuhannya
dan hanya dininabobokan oleh obat? Dunia yang mati rasa dan tak mau mengalami
sakit adalah dunia yang melarikan diri, mengingkari diri sendiri," lanjutnya.

Menurut dr. Tan, kita me*masuki era kebablasan *mengonsumsi obat. Akhirnya, obat
dijadikan demand. Setelah demand melambung tinggi, masyarakat digenjot untuk
mendapatkan penghasilan lebih yang tak perlu demi obat. Lihatlah berapa banyak
orang yang harus berusaha mati-matian demi keperluan berobat salah satu anggota
keluarga.

*Selalu Ingin Jadi Dokter

*Dr. Tan Shot Yen lahir di Beijing, 17 September 1964 dan dibesarkan di Jakarta.
Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universistas Tarumanegara dan lulus Profesi
Kedokteran Negara FKUI pada tahun 1991. Sebagai siswi yang
selalu mendapat nilai cemerlang dalam ilmu eksakta, menjadi dokter merupakan impiannya
sejak dulu. Baginya, dibidang kedokteran, cara pikirnya yang eksakta bisa
menemukan 'kemanusiaannya' . Dalam diri pasien, ia menemukan
benang merah antara fisik, emosi dan spiritual.

Ketika baru menjadi dokter, saya juga ngaco. Sekadar memberi obat pada pasien.
Lama-lama saya pikir saya cuma perpanjangan pabrik obat," kenangnya. Lalu ia
pelan-pelan lebih menggunakan gaya hidup sehat. Perubahan ini dipicu
oleh ayahnya, *dr. Tan Tjiauw Liat*, tokoh inspiratif yang membuatnya maju untuk
melihat apa sebenarnya kebutuhan manusia.

Melihat begitu berapi-apinya dr. Tan saat memberikan pencerahan gaya hidup pada
pasien, siapapun mungkin akan bertanya 'apa tidak capek?'. "Lebih capek mana
dibandingkan dokter yang ditunggangi perusahaan obat dan makanan? Saya mendapat
energi bila melihat pasien sembuh. Mereka *memegang kendali atas hidup mereka,
tidak dibohongin dokter, dan tidak tergantung obat*," jawabnya.

Dr. Tan mengakui, sepak terjangnya kerap dipandang sebelah mata oleh koleganya.
"Ada yang bilang saya idealis, bahkan mission impossible. Tapi saya yakin,
dalam hati kecil mereka mengatakan bahwa perubahan gaya hiduplah jawabannya.
Masalahnya, mereka sendiri tidak menjalani gaya hidup itu. Ini membuat saya
sebal. Kalau mereka merasa tidak bisa menjalani gaya hidup sehat, jangan
mengecilkan pasien dengan menganggap pasien juga takkan bisa. Pasien yang sudah
parah dikasih obat apapun pasti mau. Apalagi Cuma disuruh Apalagi Cuma disuruh
ganti nasi dengan sayur."

*Keluarga terpengaruh

*Pola makan asal yang meniadakan gula, trigu, nasi, pati dan susu yang dijalani
dr. Tan juga dilakukan oleh suami – Henry Remanleh – dan anak tunggalnya,
Cilla. Menurut dr. Tan, mereka tidak menjalaninya karena terpaksa, tapi karena
merasakan manfaatnya. "Putri saya 17 tahun, kadang terpengaruh pola makan
temannya. Dia lalu mengeluh susah konsentrasi atau pencernaannya terganggu. Setelah itu dia back on
track. Dia sudah mengonsumsi raw food sejak SMP atas pilihan sendiri. Anak itu
mencontoh orang tuanya. Jangan harap anak makan dengan baik kalau Anda sendiri amburadul."

Suaminya, Henry, adalah kinesiologis yang berkutat dengan masalah gerak dan pengaruhnya
terhadap aspek kehidupan manusia. Henry juga instruktur brain
gym. Ia berpraktek di tempat yang sama. Dr. Tan sangat menghargai pekerjaan
suaminya karena memberdayakan masyarakat. "Brain gym terbukti bisa meningkatkan
konsentrasi. Dengan pola makan sehat sejak kecil dan gerakan olahraga
terstruktur, Anda tak perlu lagi minum obat," katanyaa tegas.

Selain sibuk berpraktik dan menjadi pembicara talkshow, dr. Tan menjadi contributor
untuk tabloid dan majalah kesehatan. Selain itu, ia mengisi waktunya dengan
membaca dan membuka jalur continuing medical education melalui internet. Karena itu, info dan
data jurnal ilmiahnya selalu up to date – disamping buku-buku terbaru pemberian
ayahnya.

Ia menjalani pilates, terkadang berenang, dan sesekali bermain piano. Kini ia sedang mengumpulkan kisah-kisah kamar paraktek untuk dijadikan
tulisan inspiratif agar para dokter memandang pasien lebih dari sekumpulan diagnosis.

Wah, sepertinya semangat dalam tubuh mungil ini seolah melonjak-lonjak dan
tak pernah padam. Maju terus dr. Tan!

sumber : milis yahoo



Lebih aman saat online.
Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini!

TESTIMONIAL ANDA


Gejala Lupus
(H.N A, 27 tahun - Jakarta)
Komplikasi (Liver, Diabetes, dll )
(Djulli Waty, 44 tahun - Jakarta Utara)
Kadar Gula Darah Tinggi
(Suyanto, 39 tahun - Jakarta)
Gondok 17 Tahun & Kolesterol
(Oey Tenny, 45 tahun - Jakarta Barat)
Psoriasis
(Dadan Sunandar, 22 tahun - Sumedang)
Glaukoma
(Ernayanti H, 60 tahun - Bandung)
Dermatitis Atopik
(Kelvin David S, 7 tahun - Jakarta)
Mata Minus & Berat Badan Lebih
(Uyus Siti Sofiah, 40 tahun - Bandung)
Hipertiroid
(Anni Inriyani, 30 tahun - Sumedang)
Lebih Langsing & Berotot
(Ade Sulistio, 22 tahun - Bandung)
Kista Pada Leher
(Dede Wiani, 46 tahun - Sumedang)
Turun Berat Badan 11 Kg
(Sri Bulan Lanny, 43 tahun - Jakarta)
Diabetes Melitus & Katarak
(Surita Sutiaty, 79 tahun - Jakarta)
Turun Berat Badan 18 Kg
(Yanti Sifina, 30 tahun - Pekanbaru)
Gagal Ginjal Kronik
(Bambang S, 51 tahun - Surabaya)
Turun Berat Badan 13 Kg
(BQ Maliagustina, 46 tahun - Mataram)
Hipertensi & Gula Darah Tinggi
(C Lanny Masita, 52 tahun - Malang)

Testimony dan kesaksian